Di tengah era di mana media sosial dan budaya populer seringkali mengagungkan kebahagiaan yang konstan, muncul sebuah fenomena yang disebut ‘toxic positivity’. Pendekatan ini adalah dorongan untuk selalu berpikir positif, menafikan emosi negatif seperti sedih atau kecewa, bahkan ketika menghadapi kegagalan. Sebagai orang tua atau pendidik, mengajarkan anak untuk menghadapi kegagalan dengan tepat adalah tentang membimbing mereka melalui emosi yang sulit, bukan menghindarinya. Mengajarkan anak untuk menerima dan memproses kegagalan adalah kunci untuk membangun ketahanan mental yang kuat. Alih-alih berkata “jangan sedih,” pendekatan yang lebih efektif adalah “tidak apa-apa untuk merasa sedih.”
Mengakui dan Memvalidasi Perasaan Anak
Langkah pertama dalam mengajarkan anak untuk menghadapi kegagalan adalah dengan memvalidasi perasaan mereka. Ketika seorang anak gagal dalam sebuah perlombaan atau mendapatkan nilai buruk, respons pertama kita haruslah empati. Hindari frasa klise seperti “masih banyak kesempatan” atau “itu bukan masalah besar.” Ungkapkanlah, “Papa/Mama tahu kamu pasti kecewa/sedih.” Kalimat ini menunjukkan bahwa Anda menghargai emosi mereka dan bahwa perasaan tersebut adalah hal yang wajar. Setelah emosi negatif diakui, barulah Anda bisa melangkah ke tahap selanjutnya. Sebuah studi yang diterbitkan oleh Asosiasi Psikologi Anak pada 20 November 2025 menunjukkan bahwa anak-anak yang emosinya divalidasi oleh orang tua cenderung memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah dan lebih cepat pulih dari kekecewaan.
Melihat Kegagalan sebagai Proses Belajar
Kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan bagian dari proses belajar. Tugas kita adalah mengajarkan anak untuk melihat setiap kegagalan sebagai kesempatan untuk tumbuh. Ajak mereka untuk menganalisis apa yang bisa diperbaiki tanpa menghakimi. Misalnya, alih-alih berkata, “Kamu pasti kurang belajar,” tanyakan, “Menurutmu, apa yang bisa kita lakukan agar hasilnya lebih baik lain kali?” Diskusi ini akan membuat anak merasa memiliki kontrol atas situasi, bukan sekadar korban dari kegagalan. Sebuah laporan internal yang dikeluarkan oleh sebuah sekolah pada 14 Oktober 2025 menunjukkan bahwa siswa yang diberi ruang untuk mengevaluasi kegagalan mereka sendiri menunjukkan peningkatan 25% dalam kemampuan pemecahan masalah dan motivasi diri.
Menjadi Teladan yang Baik
Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan guru untuk menjadi teladan dalam menghadapi kegagalan. Ceritakan kepada mereka bagaimana Anda juga pernah menghadapi kegagalan di tempat kerja atau dalam kehidupan, dan bagaimana Anda bangkit dari kesalahan tersebut. Hal ini akan membuat anak merasa lebih nyaman untuk berbicara tentang kegagalan mereka sendiri. Keberanian untuk mengakui dan belajar dari kesalahan adalah salah satu keterampilan paling berharga yang bisa Anda berikan kepada anak.
Dengan mengajarkan anak untuk mengakui emosi, melihat kegagalan sebagai proses belajar, dan menjadi teladan, kita membantu mereka membangun resiliensi. Pendekatan ini adalah investasi jangka panjang untuk kesehatan mental anak, memastikan mereka tumbuh menjadi individu yang tangguh, bijaksana, dan memiliki hubungan yang sehat dengan kegagalan.
