Di tengah gempuran informasi dan kemajuan teknologi digital yang pesat, generasi muda membutuhkan lebih dari sekadar kecanggihan; mereka membutuhkan kompas moral yang kuat. Guru, dengan perannya yang strategis, menjadi agen kunci dalam pengembangan nilai etika, membimbing siswa untuk menavigasi kompleksitas era digital dengan integritas. Membangun kompas moral pada diri siswa adalah tugas mendesak untuk memastikan mereka tumbuh menjadi individu yang bertanggung jawab dan beretika di dunia maya maupun nyata.

Era digital membawa banyak kemudahan, namun juga tantangan etika yang signifikan. Hoaks, cyberbullying, plagiarisme digital, dan pelanggaran privasi adalah beberapa isu yang sering ditemui. Tanpa panduan etika yang kokoh, siswa rentan terjerumus dalam perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Di sinilah peran guru sebagai pembentuk kompas moral menjadi sangat vital. Guru tidak hanya mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga menanamkan kesadaran tentang dampak tindakan online, pentingnya verifikasi informasi, dan etika berinteraksi di dunia digital. Sebagai contoh, dalam diskusi di kelas Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan pada hari Rabu, 16 Juli 2025, seorang guru memfasilitasi debat tentang privasi data pribadi di media sosial, mendorong siswa untuk berpikir kritis tentang batasan-batasan etika.

Strategi guru dalam mengembangkan nilai etika di era digital meliputi beberapa pendekatan. Pertama, integrasi etika digital ke dalam kurikulum. Guru dapat memanfaatkan studi kasus nyata tentang isu-isu etika online, video edukatif, atau artikel berita untuk memicu diskusi. Ini membantu siswa memahami konsep abstrak etika dalam konteks yang relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Kedua, menjadi teladan digital yang positif. Guru harus menunjukkan perilaku online yang etis dan bertanggung jawab, mulai dari cara berkomunikasi, berbagi informasi, hingga menjaga privasi. Siswa akan lebih mudah meniru apa yang mereka lihat daripada apa yang hanya didengar.

Ketiga, menciptakan ruang aman untuk diskusi dan refleksi. Kelas harus menjadi tempat di mana siswa merasa nyaman untuk berbagi pengalaman, bertanya tentang dilema etika yang mereka hadapi di dunia digital, dan belajar dari kesalahan. Guru dapat memandu mereka melalui proses penalaran etis, membantu mereka memahami konsekuensi dari tindakan online. Misalnya, adakan sesi “Literasi Digital Beretika” setiap bulan, bekerja sama dengan kepolisian siber atau pakar teknologi informasi yang akan memberikan wawasan praktis tentang risiko dan cara berperilaku etis di internet. Sesi ini dapat menjadi platform di mana siswa mengajukan pertanyaan tentang bagaimana menjaga kompas moral mereka di ranah digital.

Dengan dedikasi guru dalam menerapkan strategi ini, diharapkan generasi muda tidak hanya cakap teknologi, tetapi juga memiliki kompas moral yang kuat. Mereka akan mampu membedakan yang benar dari yang salah, bertindak dengan integritas, dan menggunakan teknologi untuk kebaikan, membentuk masa depan digital yang lebih etis dan bertanggung jawab.